Minggu, 22 Juni 2014

Ruwatan


Ruwatan

Tradisi upacara/ritual ruwatan hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita “wayang” dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.
Dimasa lampau, upacara ruwatan dianggap sebagai wahana pembebasan para sukerta, yaitu anak-anak yang sejak lahir dianggap membawa kesialan tidak suci, penuh dosa serta orang-orang yang berbuat ceroboh. Anak sukerta dan/orang yang ceroboh itu dipercayakan menjadi mangsa Batara Kala. Oleh sebab itu, perlu diruwat pantas dipertanyakan, kenapa anak-anak sukerta yang lahir di luar kemauannya itu oleh orang tuanya dianggap sebagai pembawa sial? Dengan tidak mengusik keberadaaan mitos lama tentang arti pentingnya upacara ruwatan bagi insan yang digolongkan orang suketa, makalah ini mencoba membahasnya atas dasar penalaran yang bersumber dari pengamatan terhadap pelaksanaan beberapa upacara ruwatan di berbagai tempat.
Berdasarkan cerita pedalangan, Batara Guru berkelana berdua dengan istrinya, Dewi Uma di atas gigir lembu Audini, lahirlah Batara Kala akibat pembuahan sperma Batara Guru yang tercebur ke laut, sebab tidak mampu menahan birahi terhadap kecantikan Uma, istrinya. Saya menangkap adanya pendidikan moral yang tersirat (berkaitan dengan pendidikan seks)  dalam cerita itu, yaitu orang yang beradab tidak selayaknya melakukan sanggama di atas kendaraan. Apalagi memiliki jabatan tertinggi dan sangat terhormat seperti Batara Guru. Artinya, jika seseorang tidak mampu menahan birahi dan dimanjakan di sembarang tempat, akan melahirkan bocah yang selalu membuat durhaka kepada siapa saja, seperti Batara Kala.
Munculnya tokoh-tokoh dewa dala pertunjukan wayang, termasuk dalam ruwatan, sering dianggap satu ungkapan kemusrikan, maka upacara ruwatan dengan menggunakan wayang oleh masyarakat Islam tertentu yang mengharamkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar