Ruwatan
Tradisi upacara/ritual ruwatan
hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan
penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam
hidupnya. Dalam cerita “wayang” dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di
jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno,
yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah
ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau
menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual
dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.
Dimasa
lampau, upacara ruwatan dianggap sebagai wahana pembebasan para sukerta,
yaitu anak-anak yang sejak lahir dianggap membawa kesialan tidak suci, penuh
dosa serta orang-orang yang berbuat ceroboh. Anak sukerta dan/orang yang
ceroboh itu dipercayakan menjadi mangsa Batara Kala. Oleh sebab itu, perlu
diruwat pantas dipertanyakan, kenapa anak-anak sukerta yang lahir di luar
kemauannya itu oleh orang tuanya dianggap sebagai pembawa sial? Dengan tidak
mengusik keberadaaan mitos lama tentang arti pentingnya upacara ruwatan bagi
insan yang digolongkan orang suketa, makalah ini mencoba membahasnya atas dasar
penalaran yang bersumber dari pengamatan terhadap pelaksanaan beberapa upacara
ruwatan di berbagai tempat.
Berdasarkan
cerita pedalangan, Batara Guru berkelana berdua dengan istrinya, Dewi Uma di
atas gigir lembu Audini, lahirlah Batara Kala akibat pembuahan sperma Batara
Guru yang tercebur ke laut, sebab tidak mampu menahan birahi terhadap
kecantikan Uma, istrinya. Saya menangkap adanya pendidikan moral yang tersirat
(berkaitan dengan pendidikan seks) dalam cerita itu, yaitu orang yang
beradab tidak selayaknya melakukan sanggama di atas kendaraan. Apalagi memiliki
jabatan tertinggi dan sangat terhormat seperti Batara Guru. Artinya, jika
seseorang tidak mampu menahan birahi dan dimanjakan di sembarang tempat, akan
melahirkan bocah yang selalu membuat durhaka kepada siapa saja, seperti Batara
Kala.
Munculnya
tokoh-tokoh dewa dala pertunjukan wayang, termasuk dalam ruwatan, sering
dianggap satu ungkapan kemusrikan, maka upacara ruwatan dengan menggunakan
wayang oleh masyarakat Islam tertentu yang mengharamkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar